BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Latar
belakang penulisan makalah yang berjudul
K.H Ahmad Dahlan ini adalah untuk memberikan sedikit tambahan pengetahuan
atau informasi kepada rekan-rekan satu komisi tingkat A dan kepada semua yang
membacanya dengan harapan pembaca dan para audience menjadi lebih tahu tentang K.H Ahmad Dahlan baik dari riwayat
hidupnya dan pemikiran tentang pendidikan, macam-macamnya dan hal-hal yang lain
yang akan dijelaskan dalam Makalah ini.
Latar
belakang lain adalah untuk mencari atau menggali berbagai pendapat dari
audience untuk menambah pengetahuan untuk kepentingan bersama.
B.
Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari Penulisan Makalah ini adalah agar semua
Mahasiswa tahu secara mendalam tentang K.H
Ahmad Dahlan, Selain itu tujuan
lain adalah di maksudkan agar kita dapat memperoleh berbagai macam pendapat dan
komentar-komentar dari semua Mahasiswa melalui Prosentase yang kami sampaikan.
- Tujuan Khusus
Tujuan
khusus dari penulisan Makalah ini adalah guna memenuhi tugas yang di berikan oleh
Dosen Mata Kuliah Studi Tokoh Tokoh
Islam kepada kami, dengan harapan agar kami lebih tahu atau mengerti
tentang K.H Ahmad Dahlan. Akan
tetapi kami juga mengharapkan kritik dan saran dair Dosen yang bersangkutan.
BAB II
ISI
A.
Riwayat Hidup K.H Ahmad Dahlan
Lahir di kampung Kauman Yogyakarta
pada 1 Agustus 1868 M, Dahlan kecil diberi nama Muhammad Darwisy oleh kedua
orangtuanya. Ia adalah anak keempat dari tujuh bersaudara yang semuanya
perempuan, kecuali adik bungsunya. Keluarganya dikenal didaktis dan alim dalam
ilmu agama. Ayahnya bernama KH. Abu Bakar, seorang imam dan khatib Masjid Besar
Kraton Yogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah putri KH. Ibrahim yang
pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
Dalam silsilahnya, ia tercatat
sebagai keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang
wali songo yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan
dakwah Islam di Tanah Jawa. Silsilahnya lengkapnya ialah: Muhammad Darwisy bin
KH Abu Bakar bin KH Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin
Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana
Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlul'llah (Prapen)
bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.
Sejak kecil Muhammad Darwisy dididik
oleh ayahnya sendiri. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca dan
menulis, mengaji Al-Qur`an dan kitab-kitab agama. Selain belajar pada ayahnya,
Darwisy juga belajar fiqih pada KH. Muhammad Saleh, belajar nahwu pada KH.
Muhsin, belajar ilmu falak pada KH. R. Dahlan, belajar hadits pada KH. Mahfuz
dan Syaikh Khayyat Sattokh, dan belajar qiraat pada Syaikh Amin dan Syaikh
Sayyid Bakri.
Setelah menimba ilmu pada sejumlah
guru di Tanah Air, Muhammad Darwisy berangkat ke tanah suci pada tahun 1883 M
saat usianya menginjak 15 tahun. Lima tahun di sana, Darqis menuntut ilmu agama
dan bahasa Arab. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaru
dunia Islam, seperti; Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, Syaikh Jamalaluddin
Al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, dan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah.
Muhammad Darwisy begitu terobsesi
pada pemikiran pembaruan tokoh-tokoh ini. Pemikiran untuk mengembalikan umat
Islam kepada sumber utamanya, yakni Al-Qur`an dan Sunnah. Selain itu, Darwisy
juga sangat anti taklid, bid’ah, khurafat, dan takhayul, yang saat itu sangat
merajalela di Tanah Air. Gerakan dan pemikirannya inilah yang kemudian membuat
orang menganggapnya sebagai seorang pembaru dan modernis.
Tahun 1888 M, pada usianya yang ke-20
tahun, Muhammad Darwisy kembali ke kampung halaman dan –tanpa sebab yang jelas
dia– mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan. Dia diangkat menjadi khatib
di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Ketika itu, pada usia yang masih muda, ia
membuat heboh masyarakat dengan membuat tanda shaf dalam masjid agung dengan
memakai kapur. Tanda shaf itu bertujuan untuk memberi arah kiblat yang benar
dalam masjid. Menurutnya, letak masjid yang tepat menghadap barat adalah
keliru, sebab letak kota Makkah berada di sebelah barat agak ke utara dari
Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang sederhana, Ahmad Dahlan
berkesimpulan bahwa kiblat di Masjid Agung itu tidak tepat, dan oleh karena itu
harus dibetulkan. Namun tak lama setelah
itu, penghulu kepala (HM. Kholil Kamaludiningrat) yang bertugas menjaga Masjid
Agung menyuruh orang untuk membersihkan lantai masjid dan menghapus tanda shaf
yang dibuat oleh Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1902 M, ia menunaikan ibadah
haji untuk kedua kalinya. Dan selesai haji, Ahmad Dahlan tidak langsung pulang.
Ia memperdalam kembali ilmu agamanya kepada sejumlah ulama di Makkah dan
beberapa ulama asal Indonesia yang bermukin di sana, seperti; Syaikh Muhammad
Khatib Al-Minangakabawi, Kyai Nawawi Al-Bantani, Kyai Mas Abdullah, dan Kyai
Fakih Kembang.
Pada kepergiannya yang kedua kali ke
Makkah ini, Dahlan memperdalam bacaan dan analisanya terhadap kitab-kitab
klasik karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Selain
tentu saja berinteraksi kembali secara lebih intens dengan pemikiran Syaikh
Muhammad bin Abdil Wahhab, Syaikh Muhammad Abduh, dan Syaikh Muhammad Rasyid
Ridha. Wawasan Dahlan tentang universalitas Islam pun semakin terbuka dan
pemikirannya mulai kritis. Ahmad Dahlan kembali ke Indonesia pada tahun 1904 M.
Ide pembaruan yang sedang berhembus
di Timur Tengah sangat menggelitik hatinya, apalagi jika melihat kondisi umat
Islam di Indonesia yang sangat stagnan. Untuk itu, atas saran beberapa orang
murid dan anggota Budi Utomo, maka Dahlan merasa perlu merealisasikan ide-ide
pembaruannya. Dan, pada tanggal 18 November 1912 M atau bertepatan dengan
tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H, bersama dengan teman-teman seperjuangannya; Haji
Sujak, Haji Fachruddin, Haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul
Gani; KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta.
Di atas adalah salah satu faktor yang
banyak diungkap di beragai literatur tentang sejarah berdirinya Muhammadiyah.
Padahal sesungguhnya, ada faktor lain yang tak kalah penting, yaitu keinginan
Ahmad Dahlan dan kawan-kawan untuk menciptakan masyarakat yang damai adil
makmur dan sejahtera berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah, baldatun thayyibatun
wa rabbun ghafur. Ahmad Dahlan ingin mewujudkan masyarakat yang bernafaskan
keadilan, kejujuran, persaudaraan, gotong-rotong, dan saling menolong. Untuk
melaksanakan terwujudnya masyarakat yang demikian ini, Muhammadiyah pun
didirikan dengan berdasarkan ayat:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ
وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ . [آل عمران : 104]
"Dan hendaklah
ada di antara kalian sekelompok orang yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh
kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan itulah mereka
orang-orang yang beruntung." (Ali Imran: 104)
Di samping kesibukannya mengajar dan
berorganisasi, Ahmad Dahlan mesti menghidupi keluarganya. Dan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, selain sebagai khatib di lingkungan Kraton
Yogyakarta dan mengajar di berbagai sekolah milik pemerintah, Ahmad Dahlan juga
berdagang kain. Dia sering bepergian dan mengadakan hubungan dagang dengan para
pedagang lain, termasuk dengan sejumlah pedagang dari Arab. Dan di sela-sela
aktifitasnya berdagang itulah Ahmad Dahlan sering memberikan pengajian dan
pengajaran kepada masyarakat.
Layaknya seorang kyai, Ahmad Dahlan
pun menikahi lebih dari seorang istri. Istri pertamanya, yaitu Siti Walidah,
masih sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal
dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah.
Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, Ahmad Dahlan dikaruniai enam orang
anak, yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah,
dan Siti Zaharah.
KH. Ahmad Dahlan wafat di Yogyakarta
pada tanggal 23 Februari tahun 1923 dan dimakamkan di Karangkajen, Yogyakarta.
B. Pemikiran
Pendidikan KH.Ahmad Dahlan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya
strategis untuk menyelamatkan umat islam dari pola berpikir yang statis menuju
pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya
ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat.
Pendidikan Islam yang dalam hal ini
diwakili oleh pondok pesantren telah tersebar sebelum kedatangan penjajah
kolonial Belanda ke Indonesia. Ia merupakan lembaga pendidikan tingkat menengah
dan tinggi. Pendidikan Islam untuk tingkat permulaan diberikan di masjid,
langgar, musallah atau surau. Santri diberi kebebasan memilih bidang studi dari
guru yang diingininya. Ada santri senior yang diberi wewenang untuk mengajar.
sorogan dan bandongan atau weton. Di pondok pesantren tidak ada sistem kelas,
tidak ada ujian atau pengontrolan (evaluasi proses belajar) kemajuan santri dan
tidak ada batas lamanya belajar [kelas]. Penekanannya pada kemampuan menghafal
saja, tidak merangsang santri untuk berdiskusi dengan sesama santri.
Cabang-cabang ilmu yang dipelajari terbatas pada ilmu-ilmu agama Islam yang
meliputi hadits, musthalah hadits, fikih sunnah/ushul fikih, ilmu tauhid, ilmu
tasauf, ilmu mantik, ilmu falaq dan bahasa Arab.
Kyai Ahmad Dahlan, melihat kondisi
sosial pendidikan umat Islam pada waktu itu, tergerak untuk melakukan aktivitas
yang menerapkan sistematika kerja organisasi ala Barat. Melalui pelembagaan
amal usahanya, Kyai Ahmad Dahlan melakukan penangkalan kultural (budaya) atas
penetrasi pengaruh kolonial Belanda dalam kebudayaan, peradaban dan keagamaan,
utamanya adalah intensifnya upaya Kristenisasi yang dilakukan misi zending dari
Barat.
Usaha-usaha pembaharuan Islam bidang
pendidikan yang dilakukan Kyai Ahmad Dahlan dan para pemimpin persyarikatan
Muhammadiyah meliputi dua segi yaitu segi cita-cita dan tehnik pendidikan dan
pengajaran.
Kyai Ahmad Dahlan dianggap sebagai
tokoh pembaharuan Islam yang cukup unik,dan dikagumi karena usaha pembaharuan
Islamnya merupakan upaya terobosan-terobosan terhadap masalah-masalah umat yang
mendesak untuk diatasi. Ia juga tidak memiliki background pendidikan Barat,
tetapi gagasannya yang maju membuka lebar-lebar pintu ijtihad, (kesungguhan
perubahan dalam Islam) dan melarang pengikutnya bertaklid, (mengikuti tanpa
mengetahui alasan dalilnya yang tepat). Format pembaharuan dalam Islam
persyarikatan Muhammadiyah dalam bidang pendidikan Islam, tercermin dan dapat
dilihat dari ide-ide dasar yang merupakan cita-cita penyelenggaraan pendidikan,
seperti yang dituturkan pendirinya yaitu konsepsi kyai intelek dan intelek kyai
Usaha modernisasi dan pembaharuan
dalam bidang pendidikan Islam yang dilakukan persyarikatan Muhammadiyah pada
awal kelahiran organisasi ini, nampak dari pengembangan kurikulum melalui dua
jalan yaitu :
- Mendirikan tempat-tempatpendidikan dimana ilmu agama dan ilmu umum diajarkan bersama-sama.
- Memberikan tambahan pelajaran agama pada sekolah sakolah umum yang sekuler.20 Usaha yang dirintis Kyai Haji Ahmad Dahlan memperbaharui sistem pendidikan Islam dan kurikulum mata pelajaran seorang aktifis Muhammadiyah Rader Sasrosugondo menceriterakan yang dimuat dalam majalah Adil No. 51 tahun 1936 sebagai berikut :
“ Sepanjang
penganggapannya para santri di Kauman, dan di pondok lainnya, pada ketika itu,
bahwa anak atau orang yang pernah bersekolah itu sudah tidak Islam lagi, bahkan
dianggap sudah memasuki agama Nasrani. Oleh karena itu para santri ataupun haji
tidak bisa leluasa perhubungannya dengan priyayi-priyayi tersebut. Para santri
sama merendahkan priyayi-priyayi di dalam hati. Sebaiknya para priyayi-priyayi
berganti sama merendahkan pada dirinya santri-santri, sebabnya mereka itu
dianggap rendah pengetahuannya tentang pelajaran di bangku sekolah. Misalnya
soal berhitung, ilmu bumi, sejarah, ilmu alam,ilmu ukur dan lain sebagainya.
Mereka mengira bahwa bahwa santri itu terutama hanya pandai soal agama belaka.
Lebih-lebih priyayi-priyayi itu perasaannya sudah memegang ilmu sesungguhnya.
Mengerti tentang seluk beluknya hidup mengerti tentang yang dinamai Allah yang
sejati dari sebab ajarannya guru yang disebut guru kasampurna, mengajar ilmu
tua”.
Untuk
mengaktualisasikan gagasan besarnya dalam dunia pendidikan tersebut, Ahmad
Dahlan langsung mengaplikasikannya sebagai praktisi dalam tindakan dan karya
nyata. Jika ditelisik sepak terjang Ahmad Dahlan dalam dunia pendidikan,
setidaknya ada poin poin penting dalam konsep pemikiran pendidikannya berkait
dengan lembaga pendidikan:
1) Landasan
Pendidikan
Pelaksanaan
pendidikan hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh. Landasan ini
merupakan kerangka filosofis dalam merumuskan konsep dan tujuan ideal
pendidikan Islam, baik secara vertikal (Al-Khaliq) maupun horizontal (makhluk).
Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia,
yaitu sebagai ‘abdullah (hamba Allah) dan khalifah fil ardh (pemimpin
di bumi). Dalam proses kejadiannya, manusia dikaruniai ruh dan akal oleh Allah.
Untuk itu, pendidikan hendaknya menjadi media yang dapat mengembangkan potensi
ruh untuk menalar petunjuk pelaksanaan ketundukan dan kepatuhan manusia kepada
Khaliqnya.
Di
sini eksistensi akal merupakan potensi dasar bagi peserta didik yang perlu
dipelihara dan dikembangkan guna menyusun kerangka teoritis dan metodologis
bagaimana menata hubungan yang harmonis secara vertikal maupun horizontal dalam
konteks tujuan penciptaannya. Meskipun dalam banyak tempat, Al-Qur`an senantiasa
menekankan pentingnya penggunaan akal, tetapi Al-Qur’an juga mengakui akan
keterbatasan kemampuan akal. Hal ini memiliki dua dimensi, yaitu fisika dan
metafisika. Manusia merupakan integrasi dari kedua dimensi tersebut yaitu
dimensi ruh dan jasad.
2) Tujuan
Pendidikan
Menurut
KH. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk
manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan
paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.
Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaruan dari tujuan pendidikan yang
saling bertentangan pada saat itu, yakni pendidikan pesantren dan pendidikan
sekolah model Belanda. Di satu sisi, pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk
menciptakan individu yang saleh dan mendalami ilmu agama. Sebaliknya,
pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekular yang di dalamnya
tidak diajarkan agama sama sekali. Akibat dualisme pendidikan tersebut,
lahirlah dua kutub intelektual: lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi
tidak menguasai ilmu umum dan alumni sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum
tetapi tidak menguasai ilmu agama.
Melihat
ketimpangan tersebut Ahmad Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang
sempurna adalah melahirkan individu yang utuh, menguasai ilmu agama dan ilmu
umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi Ahmad Dahlan, kedua
hal tersebut (agama-umum, material-spritual, dan dunia-akhirat) merupakan hal
yang integral, tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan
mengapa Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di
Madrasah Muhammadiyah.
3) Materi
pendidikan
Berangkat
dari tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum
atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
a. Pendidikan
akhlaq, yaitu sebagai usaha menanamkan
karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah.
b. Pendidikan
individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh
lagi berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan
dan intelektual serta antara dunia dengan akhirat.
c. Pendidikan
kemasyarakatan, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan
hidup bermasyarakat.
4) Model
Mengajar
Dalam
menyampaikan pelajaran agama, KH. Ahmad Dahlan tidak menggunakan pendekatan
yang tekstual melainkan kontekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya
dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi
dan kondisi.
·
Cara belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem
weton dan sorogan, madrasah Muhammadiyah menggunakan sistem klasikal seperti
sekolah Belanda.
·
Bahan pelajaran di pesantren diambil dari
kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah Muhammadiyah bahan pelajarannya
diambil dari buku-buku umum.
·
Hubungan guru-murid. Di pesantren hubungan
guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kyai memiliki otoritas ilmu
yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah Muhammadiyah mulai mengembangkan
hubungan guru-murid yang akrab.
5) Ijtihad
Sistem Pengajaran
Upaya
mengaktualisasikan gagasan tersebut bukan merupakan hal yang mudah, terutama
bila dikaitkan dengan kondisi objektif lembaga-lembaga pendidikan Islam
tradisional waktu itu. Dalam hal ini, Ahmad Dahlan melihat bahwa problem
epistemologi dalam pendidikan Islam tradisional disebabkan karena ideologi
ilmiahnya hanya terbatas pada dimensi relijius yang membatasi diri pada
pengkajian kitab-kitab klasik para mujtahid terdahulu, khususnya dalam madzhab
Syafi’i. Sikap ilmiah yang demikian menyebabkan lahirnya pemikir yang tidak
mampu mengolah dan menganalisa secara kritis ilmu pengetahuan yang diperoleh,
sehingga produktif dan kreatif terhadap perkembangan peradaban kekinian.
Untuk
itu diperlukan kerangka metodologis yang bebas, sistematis, dan mengacu pada
nilai universal ajaran Islam. Proses perumusan kerangka ideal yang demikian,
menurut Ahmad Dahlan disebut sebagai proses ijtihad, yaitu mengarahkan otoritas
intelektual untuk sampai pada suatu konklusi tentang berbagai persoalan. Dalam
konteks ini, pendidikan merupakan salah satu bentuk artikulasi tajdid
(modernisasi) yang strategis dalam memahami ajaran Islam yang bersumber dari
Al-Qur`an dan Sunnah secara proporsional.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
·
Tujuan
Pendidikan Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan islam hendaknya diarahkan pada
usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama,
luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk
kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut
merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat
itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu
sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan untuk mnciptakan individu yang salih
dan mengalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda
merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agma sama sekali.
Akibat dialisme pendidikan tersebut lahirlah dua kutub intelegensia : lulusan
pesantren yang menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan sekolah
Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama. Melihat
ketimpangan tersebut KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang
sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu
umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi KH. Ahmad Dahlan
kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan
hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan
mengapa KH. Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di
Madrasah Muhammadiyah.
·
Materi pendidikan Berangkat
dari tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum
atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
a)
Pendidikan moral, akhalq yaitu
sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
b)
Pendidikan individu, yaitu
sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang
berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan
intelek serta antara dunia dengan akhirat.
c)
Pendidikan kemasyarakatan yaitu
sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
·
Model Mengajar Di dalam
menyampaikan pelajaran agama KH. Ahma dahlan tidak menggunakan pendekatan yang
tekstual tetapi konekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan
atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan
kondisi. & Cara belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem Weton dan
Sorogal, madrasah Muhammadiyah menggunakan sistem masihal seperti sekolah
Belanda. Bahan pelajaran di pesantren mengambil kitab-kitab agama. Sedangkan di
madrasah Muhammadiyah bahan pelajarannya diambil dari buku-buku umum.Hubungan
guru-murid. Di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena
para kiai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah
Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.
B.
Saran
Dalam
pembuatan makalah ini kami dapat mengetahui dan memahami tentang K.H Ahmad Dahlan, dan kami
mengaharapkan pada mahasiswa STAIBN dapat memahami materi ini, semoga dengan
tersusunnya Makalah ini dapat menambah pembendaharaan perpustakaan STAIBN,
meskipun kami menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih banyak kekurangannys.
Untuk itu kami mohon maaf dan kami mengharapkan masukan dari pambaca untuk
penyempurnaan Makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. DR. H. Ramayulis &
DR. Samsul Nizar, MA, 2009, Filsafat
Pendidikan Islam
Prof. DR. H. Ramayulis &
DR. Samsul Nizar, MA, 2009, Ensiklopedia
Tokoh Pendidikan Islam
http://abduhzulfidar.blogspot.com/2010/07/pemikiran-pendidikan-kh-ahmad-dahlan.html
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking