Saterdag 30 Maart 2013

Makalah Tokoh pendidikan ( K.H. Ahmad Dahlan


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Latar belakang penulisan makalah yang berjudul K.H Ahmad Dahlan ini adalah untuk memberikan sedikit tambahan pengetahuan atau informasi kepada rekan-rekan satu komisi tingkat A dan kepada semua yang membacanya dengan harapan pembaca dan para audience menjadi lebih tahu tentang K.H Ahmad Dahlan baik dari riwayat hidupnya dan pemikiran tentang pendidikan, macam-macamnya dan hal-hal yang lain yang akan dijelaskan dalam Makalah ini.
Latar belakang lain adalah untuk mencari atau menggali berbagai pendapat dari audience untuk menambah pengetahuan untuk kepentingan bersama.

B.     Tujuan
1.  Tujuan Umum
            Tujuan umum dari Penulisan Makalah ini adalah agar semua Mahasiswa tahu secara mendalam tentang K.H Ahmad Dahlan, Selain itu tujuan lain adalah di maksudkan agar kita dapat memperoleh berbagai macam pendapat dan komentar-komentar dari semua Mahasiswa melalui Prosentase yang kami sampaikan.
  1. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan Makalah ini adalah guna memenuhi tugas yang di berikan oleh Dosen Mata Kuliah Studi Tokoh Tokoh Islam kepada kami, dengan harapan agar kami lebih tahu atau mengerti tentang K.H Ahmad Dahlan. Akan tetapi kami juga mengharapkan kritik dan saran dair Dosen yang bersangkutan.











BAB II
ISI

A.    Riwayat Hidup K.H Ahmad Dahlan
Lahir di kampung Kauman Yogyakarta pada 1 Agustus 1868 M, Dahlan kecil diberi nama Muhammad Darwisy oleh kedua orangtuanya. Ia adalah anak keempat dari tujuh bersaudara yang semuanya perempuan, kecuali adik bungsunya. Keluarganya dikenal didaktis dan alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama KH. Abu Bakar, seorang imam dan khatib Masjid Besar Kraton Yogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah putri KH. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
Dalam silsilahnya, ia tercatat sebagai keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali songo yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan dakwah Islam di Tanah Jawa. Silsilahnya lengkapnya ialah: Muhammad Darwisy bin KH Abu Bakar bin KH Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlul'llah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.
Sejak kecil Muhammad Darwisy dididik oleh ayahnya sendiri. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca dan menulis, mengaji Al-Qur`an dan kitab-kitab agama. Selain belajar pada ayahnya, Darwisy juga belajar fiqih pada KH. Muhammad Saleh, belajar nahwu pada KH. Muhsin, belajar ilmu falak pada KH. R. Dahlan, belajar hadits pada KH. Mahfuz dan Syaikh Khayyat Sattokh, dan belajar qiraat pada Syaikh Amin dan Syaikh Sayyid Bakri.
Setelah menimba ilmu pada sejumlah guru di Tanah Air, Muhammad Darwisy berangkat ke tanah suci pada tahun 1883 M saat usianya menginjak 15 tahun. Lima tahun di sana, Darqis menuntut ilmu agama dan bahasa Arab. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaru dunia Islam, seperti; Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, Syaikh Jamalaluddin Al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Muhammad Darwisy begitu terobsesi pada pemikiran pembaruan tokoh-tokoh ini. Pemikiran untuk mengembalikan umat Islam kepada sumber utamanya, yakni Al-Qur`an dan Sunnah. Selain itu, Darwisy juga sangat anti taklid, bid’ah, khurafat, dan takhayul, yang saat itu sangat merajalela di Tanah Air. Gerakan dan pemikirannya inilah yang kemudian membuat orang menganggapnya sebagai seorang pembaru dan modernis.

Tahun 1888 M, pada usianya yang ke-20 tahun, Muhammad Darwisy kembali ke kampung halaman dan –tanpa sebab yang jelas dia– mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan. Dia diangkat menjadi khatib di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Ketika itu, pada usia yang masih muda, ia membuat heboh masyarakat dengan membuat tanda shaf dalam masjid agung dengan memakai kapur. Tanda shaf itu bertujuan untuk memberi arah kiblat yang benar dalam masjid. Menurutnya, letak masjid yang tepat menghadap barat adalah keliru, sebab letak kota Makkah berada di sebelah barat agak ke utara dari Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang sederhana, Ahmad Dahlan berkesimpulan bahwa kiblat di Masjid Agung itu tidak tepat, dan oleh karena itu harus dibetulkan.  Namun tak lama setelah itu, penghulu kepala (HM. Kholil Kamaludiningrat) yang bertugas menjaga Masjid Agung menyuruh orang untuk membersihkan lantai masjid dan menghapus tanda shaf yang dibuat oleh Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1902 M, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya. Dan selesai haji, Ahmad Dahlan tidak langsung pulang. Ia memperdalam kembali ilmu agamanya kepada sejumlah ulama di Makkah dan beberapa ulama asal Indonesia yang bermukin di sana, seperti; Syaikh Muhammad Khatib Al-Minangakabawi, Kyai Nawawi Al-Bantani, Kyai Mas Abdullah, dan Kyai Fakih Kembang.
Pada kepergiannya yang kedua kali ke Makkah ini, Dahlan memperdalam bacaan dan analisanya terhadap kitab-kitab klasik karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Selain tentu saja berinteraksi kembali secara lebih intens dengan pemikiran Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, Syaikh Muhammad Abduh, dan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha. Wawasan Dahlan tentang universalitas Islam pun semakin terbuka dan pemikirannya mulai kritis. Ahmad Dahlan kembali ke Indonesia pada tahun 1904 M.
Ide pembaruan yang sedang berhembus di Timur Tengah sangat menggelitik hatinya, apalagi jika melihat kondisi umat Islam di Indonesia yang sangat stagnan. Untuk itu, atas saran beberapa orang murid dan anggota Budi Utomo, maka Dahlan merasa perlu merealisasikan ide-ide pembaruannya. Dan, pada tanggal 18 November 1912 M atau bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H, bersama dengan teman-teman seperjuangannya; Haji Sujak, Haji Fachruddin, Haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul Gani; KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta.
Di atas adalah salah satu faktor yang banyak diungkap di beragai literatur tentang sejarah berdirinya Muhammadiyah. Padahal sesungguhnya, ada faktor lain yang tak kalah penting, yaitu keinginan Ahmad Dahlan dan kawan-kawan untuk menciptakan masyarakat yang damai adil makmur dan sejahtera berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Ahmad Dahlan ingin mewujudkan masyarakat yang bernafaskan keadilan, kejujuran, persaudaraan, gotong-rotong, dan saling menolong. Untuk melaksanakan terwujudnya masyarakat yang demikian ini, Muhammadiyah pun didirikan dengan berdasarkan ayat:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ . [آل عمران : 104]

"Dan hendaklah ada di antara kalian sekelompok orang yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan itulah mereka orang-orang yang beruntung." (Ali Imran: 104)

Di samping kesibukannya mengajar dan berorganisasi, Ahmad Dahlan mesti menghidupi keluarganya. Dan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, selain sebagai khatib di lingkungan Kraton Yogyakarta dan mengajar di berbagai sekolah milik pemerintah, Ahmad Dahlan juga berdagang kain. Dia sering bepergian dan mengadakan hubungan dagang dengan para pedagang lain, termasuk dengan sejumlah pedagang dari Arab. Dan di sela-sela aktifitasnya berdagang itulah Ahmad Dahlan sering memberikan pengajian dan pengajaran kepada masyarakat.
Layaknya seorang kyai, Ahmad Dahlan pun menikahi lebih dari seorang istri. Istri pertamanya, yaitu Siti Walidah, masih sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, Ahmad Dahlan dikaruniai enam orang anak, yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Zaharah.
KH. Ahmad Dahlan wafat di Yogyakarta pada tanggal 23 Februari tahun 1923 dan dimakamkan di Karangkajen, Yogyakarta.

B.     Pemikiran Pendidikan KH.Ahmad Dahlan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat.
Pendidikan Islam yang dalam hal ini diwakili oleh pondok pesantren telah tersebar sebelum kedatangan penjajah kolonial Belanda ke Indonesia. Ia merupakan lembaga pendidikan tingkat menengah dan tinggi. Pendidikan Islam untuk tingkat permulaan diberikan di masjid, langgar, musallah atau surau. Santri diberi kebebasan memilih bidang studi dari guru yang diingininya. Ada santri senior yang diberi wewenang untuk mengajar. sorogan dan bandongan atau weton. Di pondok pesantren tidak ada sistem kelas, tidak ada ujian atau pengontrolan (evaluasi proses belajar) kemajuan santri dan tidak ada batas lamanya belajar [kelas]. Penekanannya pada kemampuan menghafal saja, tidak merangsang santri untuk berdiskusi dengan sesama santri. Cabang-cabang ilmu yang dipelajari terbatas pada ilmu-ilmu agama Islam yang meliputi hadits, musthalah hadits, fikih sunnah/ushul fikih, ilmu tauhid, ilmu tasauf, ilmu mantik, ilmu falaq dan bahasa Arab.
Kyai Ahmad Dahlan, melihat kondisi sosial pendidikan umat Islam pada waktu itu, tergerak untuk melakukan aktivitas yang menerapkan sistematika kerja organisasi ala Barat. Melalui pelembagaan amal usahanya, Kyai Ahmad Dahlan melakukan penangkalan kultural (budaya) atas penetrasi pengaruh kolonial Belanda dalam kebudayaan, peradaban dan keagamaan, utamanya adalah intensifnya upaya Kristenisasi yang dilakukan misi zending dari Barat.
Usaha-usaha pembaharuan Islam bidang pendidikan yang dilakukan Kyai Ahmad Dahlan dan para pemimpin persyarikatan Muhammadiyah meliputi dua segi yaitu segi cita-cita dan tehnik pendidikan dan pengajaran.
Kyai Ahmad Dahlan dianggap sebagai tokoh pembaharuan Islam yang cukup unik,dan dikagumi karena usaha pembaharuan Islamnya merupakan upaya terobosan-terobosan terhadap masalah-masalah umat yang mendesak untuk diatasi. Ia juga tidak memiliki background pendidikan Barat, tetapi gagasannya yang maju membuka lebar-lebar pintu ijtihad, (kesungguhan perubahan dalam Islam) dan melarang pengikutnya bertaklid, (mengikuti tanpa mengetahui alasan dalilnya yang tepat). Format pembaharuan dalam Islam persyarikatan Muhammadiyah dalam bidang pendidikan Islam, tercermin dan dapat dilihat dari ide-ide dasar yang merupakan cita-cita penyelenggaraan pendidikan, seperti yang dituturkan pendirinya yaitu konsepsi kyai intelek dan intelek kyai
Usaha modernisasi dan pembaharuan dalam bidang pendidikan Islam yang dilakukan persyarikatan Muhammadiyah pada awal kelahiran organisasi ini, nampak dari pengembangan kurikulum melalui dua jalan yaitu :
  1. Mendirikan tempat-tempatpendidikan dimana ilmu agama dan ilmu umum diajarkan bersama-sama.
  2. Memberikan tambahan pelajaran agama pada sekolah sakolah umum yang sekuler.20 Usaha yang dirintis Kyai Haji Ahmad Dahlan memperbaharui sistem pendidikan Islam dan kurikulum mata pelajaran seorang aktifis Muhammadiyah Rader Sasrosugondo menceriterakan yang dimuat dalam majalah Adil No. 51 tahun 1936 sebagai berikut :
“ Sepanjang penganggapannya para santri di Kauman, dan di pondok lainnya, pada ketika itu, bahwa anak atau orang yang pernah bersekolah itu sudah tidak Islam lagi, bahkan dianggap sudah memasuki agama Nasrani. Oleh karena itu para santri ataupun haji tidak bisa leluasa perhubungannya dengan priyayi-priyayi tersebut. Para santri sama merendahkan priyayi-priyayi di dalam hati. Sebaiknya para priyayi-priyayi berganti sama merendahkan pada dirinya santri-santri, sebabnya mereka itu dianggap rendah pengetahuannya tentang pelajaran di bangku sekolah. Misalnya soal berhitung, ilmu bumi, sejarah, ilmu alam,ilmu ukur dan lain sebagainya. Mereka mengira bahwa bahwa santri itu terutama hanya pandai soal agama belaka. Lebih-lebih priyayi-priyayi itu perasaannya sudah memegang ilmu sesungguhnya. Mengerti tentang seluk beluknya hidup mengerti tentang yang dinamai Allah yang sejati dari sebab ajarannya guru yang disebut guru kasampurna, mengajar ilmu tua”.
Untuk mengaktualisasikan gagasan besarnya dalam dunia pendidikan tersebut, Ahmad Dahlan langsung mengaplikasikannya sebagai praktisi dalam tindakan dan karya nyata. Jika ditelisik sepak terjang Ahmad Dahlan dalam dunia pendidikan, setidaknya ada poin poin penting dalam konsep pemikiran pendidikannya berkait dengan lembaga pendidikan:
1)      Landasan Pendidikan
Pelaksanaan pendidikan hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh. Landasan ini merupakan kerangka filosofis dalam merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (Al-Khaliq) maupun horizontal (makhluk). Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai ‘abdullah (hamba Allah) dan khalifah fil ardh (pemimpin di bumi). Dalam proses kejadiannya, manusia dikaruniai ruh dan akal oleh Allah. Untuk itu, pendidikan hendaknya menjadi media yang dapat mengembangkan potensi ruh untuk menalar petunjuk pelaksanaan ketundukan dan kepatuhan manusia kepada Khaliqnya.
Di sini eksistensi akal merupakan potensi dasar bagi peserta didik yang perlu dipelihara dan dikembangkan guna menyusun kerangka teoritis dan metodologis bagaimana menata hubungan yang harmonis secara vertikal maupun horizontal dalam konteks tujuan penciptaannya. Meskipun dalam banyak tempat, Al-Qur`an senantiasa menekankan pentingnya penggunaan akal, tetapi Al-Qur’an juga mengakui akan keterbatasan kemampuan akal. Hal ini memiliki dua dimensi, yaitu fisika dan metafisika. Manusia merupakan integrasi dari kedua dimensi tersebut yaitu dimensi ruh dan jasad.
2)      Tujuan Pendidikan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaruan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu, yakni pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi, pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang saleh dan mendalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekular yang di dalamnya tidak diajarkan agama sama sekali. Akibat dualisme pendidikan tersebut, lahirlah dua kutub intelektual: lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan alumni sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama.
Melihat ketimpangan tersebut Ahmad Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh, menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi Ahmad Dahlan, kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual, dan dunia-akhirat) merupakan hal yang integral, tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.
3)      Materi pendidikan
Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
a.       Pendidikan akhlaq,  yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah.
b.      Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh lagi berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelektual serta antara dunia dengan akhirat.
c.       Pendidikan kemasyarakatan, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
4)      Model Mengajar
Dalam menyampaikan pelajaran agama, KH. Ahmad Dahlan tidak menggunakan pendekatan yang tekstual melainkan kontekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi.
·         Cara belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem weton dan sorogan, madrasah Muhammadiyah menggunakan sistem klasikal seperti sekolah Belanda.
·         Bahan pelajaran di pesantren diambil dari kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah Muhammadiyah bahan pelajarannya diambil dari buku-buku umum.
·         Hubungan guru-murid. Di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kyai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.
5)      Ijtihad Sistem Pengajaran
Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut bukan merupakan hal yang mudah, terutama bila dikaitkan dengan kondisi objektif lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional waktu itu. Dalam hal ini, Ahmad Dahlan melihat bahwa problem epistemologi dalam pendidikan Islam tradisional disebabkan karena ideologi ilmiahnya hanya terbatas pada dimensi relijius yang membatasi diri pada pengkajian kitab-kitab klasik para mujtahid terdahulu, khususnya dalam madzhab Syafi’i. Sikap ilmiah yang demikian menyebabkan lahirnya pemikir yang tidak mampu mengolah dan menganalisa secara kritis ilmu pengetahuan yang diperoleh, sehingga produktif dan kreatif terhadap perkembangan peradaban kekinian.
Untuk itu diperlukan kerangka metodologis yang bebas, sistematis, dan mengacu pada nilai universal ajaran Islam. Proses perumusan kerangka ideal yang demikian, menurut Ahmad Dahlan disebut sebagai proses ijtihad, yaitu mengarahkan otoritas intelektual untuk sampai pada suatu konklusi tentang berbagai persoalan. Dalam konteks ini, pendidikan merupakan salah satu bentuk artikulasi tajdid (modernisasi) yang strategis dalam memahami ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur`an dan Sunnah secara proporsional.
























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
·         Tujuan Pendidikan Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan untuk mnciptakan individu yang salih dan mengalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agma sama sekali. Akibat dialisme pendidikan tersebut lahirlah dua kutub intelegensia : lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama. Melihat ketimpangan tersebut KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi KH. Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa KH. Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.
·         Materi pendidikan Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
a)      Pendidikan moral, akhalq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b)      Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan akhirat.
c)      Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
·         Model Mengajar Di dalam menyampaikan pelajaran agama KH. Ahma dahlan tidak menggunakan pendekatan yang tekstual tetapi konekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi. & Cara belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem Weton dan Sorogal, madrasah Muhammadiyah menggunakan sistem masihal seperti sekolah Belanda. Bahan pelajaran di pesantren mengambil kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah Muhammadiyah bahan pelajarannya diambil dari buku-buku umum.Hubungan guru-murid. Di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kiai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.

B.     Saran
Dalam pembuatan makalah ini kami dapat mengetahui dan memahami tentang K.H Ahmad Dahlan, dan kami mengaharapkan pada mahasiswa STAIBN dapat memahami materi ini, semoga dengan tersusunnya Makalah ini dapat menambah pembendaharaan perpustakaan STAIBN, meskipun kami menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih banyak kekurangannys. Untuk itu kami mohon maaf dan kami mengharapkan masukan dari pambaca untuk penyempurnaan Makalah ini.






















DAFTAR PUSTAKA

Prof. DR. H. Ramayulis & DR. Samsul Nizar, MA, 2009, Filsafat Pendidikan Islam
Prof. DR. H. Ramayulis & DR. Samsul Nizar, MA, 2009, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam
http://abduhzulfidar.blogspot.com/2010/07/pemikiran-pendidikan-kh-ahmad-dahlan.html

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking