Dinsdag 02 April 2013

Makalah Oksidentalis


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Filosof di dunia ini banyak sekali, dengan berbagai ide atau gagasannya mereka mencoba menggali hakikat sesuatu dengan konsep dasar ontologi, epistemologi dan aksiologi yang berbeda-beda. Mereka saling mengkritik satu sama lainnya, untuk mendapatkan hakikat yang lebih bisa diterima oleh semua kalangan masyarakat. Mulai dari filosof yang berkembang di Barat hingga Timur. Walau objek kajian mereka sama namun dalam hasilnya pasti ada perbedaan walau kadang perbedaan itu tidak signifikan. Ketika muncul Orientalisme sebagai lawannya muncul pulalah Oksidentalisme. Dimana paham ini dicetuskan oleh Hassan Hanafi.

B.     Tujuan
1.  Tujuan Umum
            Tujuan umum dari Penulisan Makalah ini adalah agar semua Mahasiswa tahu secara mendalam tentang Oksidentalis Menurut Hassan Hanafi, Selain itu tujuan lain adalah di maksudkan agar kita dapat memperoleh berbagai macam pendapat dan komentar-komentar dari semua Mahasiswa melalui Prosentase yang kami sampaikan.
  1. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan Makalah ini adalah guna memenuhi tugas yang di berikan oleh Dosen Mata Kuliah Orientalis dan Oksidentalis kepada kami, dengan harapan agar kami lebih tahu atau mengerti tentang Oksidentalis Menurut Hasan Hanafi. Akan tetapi kami juga mengharapkan kritik dan saran dair Dosen yang bersangkutan.

 


BAB II
ISI

A.    Sejarah Oksidentalisme
Setelah menjabarkan pengertian Oreantalisme, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pengertian secara umum oksidentalisme adalah kajian kebaratan atau suatu kajian komprehensif dengan meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat Barat. Dalam oksidentalisme, posisi subjek objek menjadi terbalik. Timur sebagai subjek pengkaji dan Barat sebagai objek kajian.
Walau istilah oksidentalisme adalah antonim dari Oreantalisme, tapi di sini ada perbedaan lain, oksidentalisme tidak memiliki tujuan hegemoni dan dominasi sebagaimana orientalisme. Tetapi, para oksidentalis hanya ingin merebut kembali ego Timur yang telah dibentuk dan direbut Barat.
Latar belakang dan sejarah munculnya oksidentalisme. Berbicara tentang latar belakang dan sejarah munculnya oksidentalisme tidak bisa kita lewatkan begitu saja sejarah kecemerlangan peradaban islam dan masa kegelapan peradaban dunia barat. Sejarah telah mencatat era kecemerlangan dunia timur khususnya peradaban islam, bahkan peradaban keilmuan barat berhutang budi dengan peradaban keilmuan islam. Dan ini tidak bisa dipungkiri lagi, Kita ingat masa-masa kegelapan dunia barat sebelum masa kebangkitan, doktrin gereja sangat mendominasi dan mengekang kebebasan mereka dalam bertindak bahkan dalam berpikir, semuanya harus sejalan dengan ajaran gereja yang menjadikan bangsa barat terbelakang dari peradaban lainya. Peradaban islam waktu itu sangat bertolak belakang dengan peradaban barat, peradaban islam sangat mencolok dan maju pesat bak anak panah, universalnya islam telah mengubah bangsa timur dari bangsa yang terbelakang dan primitif menjadi bangsa yang maju baik dari segi agama, pemerintahan-politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan. Keadaan ini membuat para pemikir dan cendikiawan barat (bisa disebut oreantalis masa awal) yang sudah bosan dengan doktrin gereja yang kadang tidak sesuai dengan nalar telah terinspirasi serta melirik peradaban islam dan mempelajarinya, mereka hijrah ke wilayah kekuasaan islam dan belajar dari ilmuan-ilmuan islam, maka lambat laun setidaknya dalam beberapa pereode telah merubah wajah barat dari kungkungan kegelapan.
Ketika bangsa Barat mulai bangkit dari keterbelakangan mereka (renaissance), setelah belajar dari dunia timur khususnya peradaban islam, dunia islam mulai keropos, sedikit demi sedikit dan terus terpuruk disebabkan pemimpin-pemimpin islam yang lemah, setelah peradaban islam dihancur-ludeskan oleh pasukan Tartar (bangsa Mongol). Maka barat semakin menunjukkan jayanya dan terus berkembang hingga abad ini. Dari sini muncul tokoh-tokoh oreantalis (pengkaji peradaban ketimuran) yang dengan seiring perjalanan waktu telah berubah menjadi suatu kajian yang bukan hanya mempelajari keilmuan peradaban timur tapi semua yang terkait dengan ketimuran termasuk bagaimana cara menguasai dunia timur (islam) dan penjajahan.
Dalam sejumlah karya orientalis, yang lebih banyak ditonjolkan ialah unggulnya orang-orang Barat serta mengerdilnya segala yang terkait dengan Timur khususnya islam. Mereka senantiasa mengemukakan orang-orang Timur tidak berbudaya, bodoh, keras, kasar, dan tidak punya potensi, untuk membuktikan ini para oreantalis telah mendistorsi sejarah dan mengagungkan kemajuan peradaban mereka serta menghilangkan jejak bahwa mereka pernah belajar dari Timur (islam). Misalnya mereka (oreantalis) telah membaratkan nama seorang tokoh ilmuan islam seperti Ibnu Sina menjadi Avecina, Ibnu Rusd menjadi Averos dan sebagainya.
Atas dasar itu, muncul kesadaran baru di dunia Timur (pemikir dan pembaharu islam) bahwa selama ini mereka dibodohi kajian-kajian ketimuran (orientalisme) itu. Lahirlah apa yang disebut kajian kebaratan atau yang dikenal dengan istilah oksidentalisme. Kajian ini adalah upaya untuk menandingi oreantalisme dan merebut kembali ego Timur yang telah direbut oleh Barat.
Ada beberapa tokoh oksidentalisme yang mayoritas mereka adalah pemikir dan tokoh pembaharu islam :
1)      Jamaluddin al-Afghani
Jamaluddin Al-Afghani adalah pahlawan besar dan salah seorang putra terbaik Islam. Kebesaran dan kiprahnya membahana hingga ke seluruh penjuru dunia. Sepak terjangnya dalam menggerakkan kesadaran umat Islam dan gerakan revolusionernya yang membangkitkan dunia Islam, menjadikan dirinya orang yang paling dicari oleh pemerintahan kolonial ketika itu, Inggris. Tapi, komitmen dan konsistennya yang sangat tinggi terhadap nasib umat Islam, membuat Al-Afghani tak pernah kenal lelah apalagi menyerah.
2)      Dr. Muhammad Abduh
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Lahir didesa Mahallat Nashr di kabupaten al-Buhairah, Mesir tahun 1849 M. Dan beliau wafat pada tahun 1905 M.
3)      Sheikh Muhammad Rasyid Ridha.
Muhammad Rasyid Ridha, lahir di Qalmun, sebuah desa sekitar 4 km dari Tripoli, Libanon pada 27 Jumadil Awal 1282 H.; Beliau adalah bangsawan Arab yang memiliki garis keturunan langsung dari Sayyidina Husen, putera Ali bin Abu Thalib dan Fatimah puteri Rasulullah Saw.


4)      Nurcholish Madjid.M.A
Lahir di Jombang, 17 Maret 1939 (26 Muharram 1358), dari keluarga kalangan pesantren. Pendidikan yang ditempuh: Sekolah Rakyat di Mojoanyar dan Bareng (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar (sore); Pesantren Darul 'Ulum di Rejoso, Jombang; KMI (Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiyah) Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo; IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta (Sarjana Sastra Arab, 1968), dan Universitas Chicago, Illinois, AS (Ph.D., Islamic Thought, 1984).
5)      Adian Husaini, M.A
Lahir Bojonegoro, 17 Desember 1965 adalah ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, sekretaris jenderal Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) dan Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina-Majelis Ulama Indonesia (KISP-MUI), Anggota Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan anggota pengurus Majlis Tabligh Muhammadiyah.
6)      Dr. Hasan Hanafi
Dilahirkan di Cairo, Mesir pada 14 Februari 1934 M. Hasan Hanafi, pemikir muslim modernis dari Mesir, adalah salah satu tokoh yang akrab dengan simbol-simbol pembaruan dan revolusioner, seperti Islam kiri, oksidentalisme, Tema-tema tersebut ia kemas dalam rangkaian proyek besar; pembaruan pemikiran Islam, dan upaya membangkitkan umat dari ketertinggalan dan kolonialisme modern.
Sebenarnya masih banyak tokoh-tokoh oksidentalisme lain yang tidak sebutkan di sini, karena nanti akan membuat tulisan ini terlalu panjang dan membosankan pembaca.
Motif di balik kajian oksidentalisme
Sebagaimana kita singgung di atas bahwa kajian oksidentalisme adalah kebalikan dari kajian oreantalisme, upaya untuk menanggulangi oreantalisme, Merebut kembali ego timur yang direbut oleh barat dan selama ini barat dipandang sangat mendominasi dalam kajian ketimuran khususnya kajian ke-islaman. Bahkan, di era kolonial, orientalisme dianggap sebagai senjata untuk menundukan bangsa-bangsa timur. Hal inilah yang membangkitkan kekesalan Edward Said dengan menulis buku “orientalism” . Dia mengkritik bahwa kajian barat atas timur kurang lebih bertujuan politis ketimbang ilmiah.
Dalam pemikiran dunia timur, “karena trauma sejarah akibat kolonialisme”, ada suatu perasaan curiga terhadap kajian-kajian oreantalisme bahwa kajian yang mereka lakukan memiliki motif-motif terselubung, bahkan, terkesan mengerdilkan semua yang berbau timur, walaupun ada beberapa oreantalis yang objektif dalam mengkaji ketimuran.
Adanya perasangka atau tuduhan klise dari dunia timur yang tidak mendasar, seperti : Kebudayaan barat yang dekaden, individualistik dan Amoral. Namun disisi lain dunia timur dibuat terpesona dengan kemajuan peradaban barat yang tiada henti serta anggapan timur bahwa mengadopsi kebudayaan barat adalah modernitas atau life styile.
Dengan semangat oksidentalisme diharapkan dapat membantu atau menjembatani kebuntuan tersebut. Terpenting, motif di balik kajian oksidentalisme adalah untuk mempelajari akar kemajuan bangsa-bangsa barat, memfilternya dan menerapkanya di dunia timur hingga timur keluar dari keterbelakangannya. Selain itu Oksidentalisme diharapkan mampu menghilangkan kecurigaan yang tidak mendasar terhadap barat yang terus mengendap dipikiran orang timur.
Dampak positif dan negatif yang ditimbulkan akibat oksidentalisme
Berbicara plus dan minus akibat kajian oksidentalisme sama halnya dengan membicarakan peperangan antara kebaikan dan keburukan artinya, sudah menjadi sunnatullah di dunia ini sesuatu yang dianggap sempurna akan nampak kekurangannya, dalam kajian oksidentalisme ada kebaikan yang bisa diambil dan ada juga keburukan yang muncul.
Dampak positif dan negatif akibat oksidentalisme tergantung pada pribadi oksidentalis itu sendiri. Seorang oksidentalis yang benar menurut penulis, ialah yang tidak terlalu terpengarah dengan kemajuan peradaban barat dan lantas mengadopsi apa saja yang yang diproduksi oleh barat, boleh mengambil dan meniru barat tetapi harus memfilternya dengan landasan islam dan iman. karena kalau tidak, akan menimbulkan semacam racun dalam masyarakat timur khususnya ummat islam.
Islam yang universal, mengajarkan libralisme dalam berfikir, memfungsikan akal sebagai anugerah fitrah tetapi dibatasi oleh dua pokok pondasi dasar yaitu Al-qur'an dan Assunnah, seagaimana ungkapan yang sering kita dengar “ kamu punya kebebasan tetapi kebebasanmu dibatasi oleh kebebasan orang lain”, bersebrangan dengan libralisme yang didengung-dengungkan dan dianut oleh barat, yaitu libralisme tanpa batas, dan ini danger!!.
Dari berbagai sumber

B.     Biografi Hasan Hanafi
Hassan Hanafi lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, Dia merupakan seorang pemikir Hukum Islam dan professor filsafat terkemuka di Mesir yang menguasai tiga bahasa sekaligus: Arab, Prancis, dan Inggris. Sehingga buku dan karya ilmiahnya pun menggunakan tiga bahasa tersebut. Dia memperoleh gelar sarjana muda dalam bidang filsafat dari University of Cairo 1956. Tahun 1966 Dia mengntongi gelar Doktor dari La Sorbonne Prancis. Selama studi di Prancis Dia menjadi guru bahasa Arab di Ecole des Langues Orientales, Paris. Setelah selesai studi di Prancis. Dia kembali ke Mesir untuk menjabat staf pengajar di Universitas Kairo jurusan Filsafat, untuk kuliah Pemikiran Kristen Abad Pertengahan dan Filsafat Islam. Reputasi internasionalnya sebagai pemikir muslim terkemuka mengantarkannya pada beberapa jabatan Guru Besar luar biasa (Visiting prifesor) di berbagai perguruan tinggi asing, seperti Belgia (1970), AS (1971-1975), Kuwait (1979), Maroko (1982-1984), Jepang (1984-1985), dan Uni Emirat Arab (1985).

C.    Ontologi Oksidentalisme Hasan Hanafi
Hassan Hanafi pada akhir dekade abad abad ke-20, muncul sebagai ikon dari oksidentalisme (‘ilm al-istighrab), karena perannya menyistemasikan oksidentalisme dan menjadikannya sebagai proyek peradaban yang terencana. Pemikiran tersebut menjadi genre (ciri) baru dalam pemikiran filsafat Islam kontemporer. Kajian tersebut dituangkan dalam salah satu karyanya, Muqaddimah fi ‘Ilm al-istighrab tahun 1991. Buku ini, memaparkan tentang oksidentalisme yang dimana merupakan diskursus tandingan terhadap orientalisme. Oksidentalisme disini dimaksudkan sebagai suatu kajian otoritatif (penguasaan) yang memerlakukan Barat sebagai objek pengetahuan, memelajari perkembangan dan strukturnya, dan pada akhirnya menghilangkan dominasi Barat atas kaum Muslim.
Gagasan Hanafi tentang oksidentalisme dimana sebagai tandingan orientalisme, yang merupakan filsafat klasik sebagai hasil dan sekaligus semakin mendorong kolonialisme atas dunia Timur oleh Barat, sebenarnya paham atau gagasan ini sudah dikemukakan sejak tahun 1981, yang dituangkan dalam jurnalnya (terbit pertama dan terakhir) al-Yasar al-Islam; Kitabat fi al-Islamiyyah. Namun, rumusan yang terperinci dan sistematisnya baru tertuang dalam buku Muqaddimah-nya tersebut, dengan ketebalan lebih dari 800 halaman.
Perlu kita ketahui bahwasannya paham oksidentalisme ini merupakan bagian dari proyek besar dan ambisi raksasa keintelektualan Hanafi, dikenal dengan al-turats wa al-tajdid (tradisi dan modernisasi). Al-turats (tradisi) dipresentasikan sebagai segala bentuk pemikiran umat Islam yang berasal dari masa lalu kedalam peradaban kontemporer. Sedangkan, al-tajdid (modernisasi) merupakan representasi tradisi agar sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan zaman. Dimana proyek ini sudah dituliskan secara teoritis sejak tahun 1980. Maksud dari proyek ini adalah sebagai sebuah rancangan reformasi agama yang tidak saja berfungsi sebagai kerangka kerja dalam menghadapi tantangan intlektual Barat, tetapi juga dalam rangka rekontruksi pemikiran keagamaan Islam pada umumnya. Proyek ini berdasarkan pada tiga agenda besar yang saling mengait secara dialektis. Tiga agenda besar itu adalah:
1.      Melakukan rekontruksi tradisi Islam dengan interpretasi kritis dan kritik sejarah yang tercermin dalam agenda “apresiasi khazanah klasik” (mawaqifuna min al-qadim);
2.      Menetapkan kembali batas-batas kultural Barat melalui pendekatan kritis yang mencerminkan “sikap kita terhadap peradaban Barat” (mawaqifuna min al-gharib);
3.      Upaya membangun kembali sebuah hermeneutika pembebasan Al-Qur’an yang baru, yang mencakup dimensi kebudayaan dari agama dalam skala global, agenda diman memosisikan Islam sebagai fondasi ideologis bagi kemanusiaan modern. Agenda ini mencerminkan “sikap kita terhadap realita” (mawaqifuna min al-waqi).
Ketiga agenda besar diatas menurut  Hanafi dianggap merefleksikan dialektika tringular yang membentuk “ego” (al-ana), yang berhubungan dengan “ego lain” (al-akhar), tradisi klasik (al-turats al-qadim) atau dalam realitas kontemporer (al-waqi’ al-mubasyir). Ketiga agenda besar diatas dalam proyek sistematisasi dan teoritisasinya akan melibatkan 13 bagian besar , yaitu 7 agenda pertama (dalam buku Min al-‘Aqidah ila al-Tsaurah: Muhawalah li I’adah ‘Ilm Ushul al-Din), 3 agenda kedua (dalam bukunya Muqaddimah), dan 3 agenda ketiga (metodologi tafsir al-manahij).

D.    Epistemologi Oksidentalisme Hasan Hanafi
Secara hakikat atau ontologi oksidentalisme ini merupakan epistemologi akan agenda Hanafi yang kedua, tentang sikap kita terhadap peradaban Barat, dimana termaktub dalam kitab Muqaddimah. Namun, perlu kita ingat bahwa semua isme (pemikiran) pasti adanya epistemologinya. Adapun metode atau cara untuk memahami oksidentalisme ini adalah sebagai berikut:
1.      Membebaskan diri dari pengaruh pihak lain sehingga lahir kesetaraan antara dunia Timur dengan Barat.
2.      Pembacaan ulang atas tradisi klasik sekaligus tradisi Barat dimaksudkan untuk memberikan penjelasan betapa oksidentalisme berbeda secara signifikan dengan orientalisme. Oksidentalisme tidak diarahkan menjadi kekuatan imperialisme sebuah tradisi yang dibenamkan ke dalam kesadaran tradisi lain, sebagaimana yang telah digunakan secara manipulatif oleh kaum orientalis melalui kolonialismenya. Prinsip metodologis yang sistemik ini dimaksudkan agar arah transformasi sosial masyarakat menemukan landasan pijaknya yang berakar dan melembaga dalam tradisi, tetapi tetap diorientasikan pada progresivitas melaui pembacaan secara kritis sumber-sumber kemajuan peradaban Barat.
3.      Epistemologi Relasional untuk pembebasan diri dari berbagai bentuk dominasi sehingga terjalin hubungan dialektis antara dunia Timur sebagai al-ana dengan dunia Barat sebagai al-akhar. Menolak segala macam dominasi yang menyebut bahwa Barat adalah “mitos”, atau “pusat dunia” sekaligus “pusat pengetahuan”. Dalam setiap peradaban selalu ada ego dan the other. Tidak ada kekuatan tunggal yang bersifat monolitik sebagai klaim kebenaran rasional universal. Untuk meruntuhkan superioritas tersebut harus dijalankan ide demitologisasi Barat.
E.     Aksiologi Oksidentalisme Hasan Hanafi
Dengan paham ini, jika telah menjadi mainstream  di kalangan muslim, Hanafi berharap bisa mencapai nilai atau target sebagai berikut:
1.      Kontrol dan pembendungan atas kesadaran Eropa dari awal sampai akhir;
2.      Memelajari kesadaran Eropa dalam kapasitas sebagai sejarah, bukan sebagai kesadaran yang berada di luar sejarah (kharij al-tarikh);
3.      Mengembalikan Barat ke batas alamiah, mengakhiri perang budaya, menghentikan ekspansi tanpa batas, mengembalikan filsafat Barat pada wilayah kelahirannya, sehingga tampak jelas partikulasinya;
4.      Menghapuskan mitos “kebudayaan komsmoplit”, menemukan spesifikasi bangsa-bangsa dunia dengan tipologi peradaban masing-masing;
5.      Membuka jalan bagi terciptanya inovasi bangsa non-Barat, dan membebaskannya dari akal Barat yang menghalangi nurani;
6.      Menghapus rasa rendah diri pada bangsa non-Barat;
7.      Melakukan penulisan ulang sejarah agar semaksimal mungkin dapat mewujudkan persamaan bagi seluruh bangsa;
8.      Permulaan filsafat sejarah baru yang dimulai dari Timur; ditemukan siklus peradaban dan hukum evolusi secara komprehensif;
9.      Mengakhiri orientalisme, menempatkan Timur sebagai subjek;
10.  Menciptakan ilmu oksidentalisme sebagai ilmu pengetahuan yang akurat;
11.  Membentuk peneliti-peneliti muslim yang memelajari peradabannya dari perspektifnya sendiri, dan mengkaji peradaban lain secara netral;
12.  Dimulainya generasi pemikir baru yang dapat disebut “filosof”, pascagenerasi pelopor di era kebangkitan;
13.  Lahirnya generasi yang mampu melepaskan umat Islam dari belenggu penjajahan budaya dan ilmu pengetahuan serta teknologi;
14.  Dengan oksidentalisme, manusia akan mengalami era baru dimana tidak ada lagi penyakit realisme terpendam.







BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
a.       Hassan Hanafi lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, Dia merupakan seorang pemikir Hukum Islam dan professor filsafat terkemuka di Mesir yang menguasai tiga bahasa sekaligus: Arab, Prancis, dan Inggris. Sehingga buku dan karya ilmiahnya pun menggunakan tiga bahasa tersebut.
b.      Ontologi Oksidentalisme disini dimaksudkan sebagai suatu kajian otoritatif (penguasaan) yang memerlakukan Barat sebagai objek pengetahuan, memelajari perkembangan dan strukturnya, dan pada akhirnya menghilangkan dominasi Barat atas kaum Muslim.
c.       Epistemologi Oksidentalisme adalah: Membebaskan diri dari pengaruh pihak lain, Pembacaan ulang atas tradisi klasik sekaligus tradisi Barat, dan Epistemologi Relasional.
d.      Aksiologi Oksidentalisme adalah: Kontrol dan pembendungan atas kesadaran Eropa dari awal sampai akhir; Menghapus rasa rendah diri pada bangsa non-Barat; dll

B.     Saran
Dalam pembuatan makalah ini kami dapat mengetahui dan memahami tentang Oksidentalis Menurut Hassan Hanafi, dan kami mengaharapkan pada mahasiswa STAIBN dapat memahami materi ini, semoga dengan tersusunnya Makalah ini dapat menambah pembendaharaan perpustakaan STAIBN, meskipun kami menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih banyak kekurangannys. Untuk itu kami mohon maaf dan kami mengharapkan masukan dari pambaca untuk penyempurnaan Makalah ini.












DAFTAR PUSTAKA

Laftlaft Etikazisme , Oksidentalisme Hasan Hanafi, diunduh dari: http:// Laftlaft Etikazisme  Oksidentalisme Hasan Hanafi. htm, tanggal: 12 Oktober 2012, pukul. 17.00 WIB